Beberapa jenis penyakit masih merupakan endemik di
beberapa wilayah di Indonesia seperti demam berdarah dengue (DBD), demam
tifoid, demam chikungunya, leptospirosis dan malaria.
1.
Malaria
Jumlah
kasus dan angka kesakitan malaria per 1.000 penduduk berisiko menurut provinsi
tahun 2011 ditunjukkan pada tabel di bawah ini.
Pada tabel di bawah ini dapat
dilihat Annual Parasite Insidence (API)
Malaria menurut provinsi tahun 2007-2011
2.
Demam Tifoid
Di
Indonesia, tifoid jarang dijumpai secara epidemis tapi bersifat endemis dan
banyak dijumpai di kota-kota besar. Tidak ada perbedaan yang nyata insidens
tifoid pada pria dan wanita. Insiden terringgi didapatkan pada remaja dan
dewasa muda. Simanjuntak (1990) mengemukakan bahwa insiden tifoid di Indonesia
masih sangat tinggi berkisar 350-810 per 100.000 penduduk. Demikian juga dari
telaah kasus tifoid di rumah sakit besar di Indonesia, menunjukkan angka
kesakitan cenderung meningkat setiap tahun dengan rata-rata 500/100.000
penduduk. Angka kematian diperkirakan sekitar 0,6-5% sebagai akibat dari
keterlambatan mendapat pengobatan serta tingginya biaya pengobatan.
3.
Demam
Berdarah Dengue (DBD)
Jumlah
penderita, meninggal, Case Fatality Rate (%), Dan Incidence Rate per
100.000 penduduk Demam Berdarah Dengue (DBD/DHF) menurut provinsi tahun 2011
dapat dilihat di tabel bawah ini.
Dan tabel jumlah kabupaten kota yang
terjangkit demam berdarah dengue menurut provinsi tahun 2008-2011 dapat dilihat
di tabel bawah ini.
4. Demam Chikungunya
Pada
tahun 2002 banyak daerah melaporkan terjadinya KLB Chikungunya seperti
Palembang, Semarang, Indramayu, Manado, DKI Jakarta , Banten, Jawa Timur dan
lain-lain. Pada tahun 2003 KLB Chikungunya terjadi di beberapa wilayah di pulau
Jawa, NTB, Kalimantan Tengah. Tahun 2006 dan 2007 terjadi KLB di Provinsi Jawa
Barat dan Sumatera Selatan. Dari tahun 2007 sampai tahun 2012 di Indonesia
terjadi KLB Chikungunya pada beberapa provinsi dengan 149.526 kasus tanpa
kematian.
5. Leptospirosis
Kasus
leptospirosis terutama dilaporkan pada daerah-daerah yang sering terjadi
bencana banjir selama tahun 2003-2007, kasus Leptospirosis terbanyak adalah di
DKI Jakarta bila dibandingkan dengan provinsi endemis Leptopsirosis yang lain.
Namun pada tahun 2008 kasus Leptospirosis terbanyak dilaporkan terjadi di DI
Yogyakarta, yaitu sebanyak 125 kasus. Provinsi lain yang melaporkan kasus
Leptospirosis pada tahun 2008 adalah Jawa Tengah 72 kasus, DKI Jakarta 37 kasus
dan Jawa Timur 29 kasus.
Dibandingkan tahun 2007, terjadi
penurunan jumlah kasus dari 666 kasus dengan 57 kematian menjadi 263 kasus
dengan 16 kematian pada tahun 2008.
II.
Demam
Tifoid
Epidemiologi
Organisme penyebab Salmonella
typhi. Infeksi memiliki prevalensi tertinggi di Asia Selatan dan Tenggara, Timur
Tengah, Amerika Tengah dan Selatan, serta Afrika. Tingkat endemisitas yang
rendah terdapat di Eropa Selatan dan Timur.
Patogenesis
Organisme berpenetrasi ke mukosa usus dan berjalan ke
kelenjar regional untuk bermultiplikasi, kemudian sebagian besar memasuki
aliran darah yang menandai onset demam. Plak Peyer ileum terinfeksi selama
bakterimia dan juga selanjutnya melalui empedu yang terinfeksi.
Usus kemudian mengalami inflamasi dan selanjutnya selama
minggu kedua atau ketiga penyakit dapat mengalami ulserasi sehingga menyebabkan
perdarahan dan perforasi. Hati dan empedu juga terlibat.
Setelah pemulihan, infeksi dapat menetap di saluran
empedu dan kemih terutama pada penyakit yang sudah ada sebelumnya sehingga
menyebabkan karier feses atau urin kronik. Setelah pemulihan, terbentuk
imunitas intestinal lokal, selular dan humoral dan serangan kedua jarang
terjadi.
Manifestasi
klinis
Demam tifoid
yang tidak diobati seringkali merupakan penyakit berat yang berlangsung lama
dan terjadi selama 4 minggu atau lebih. Minggu pertama : demam yang semakin
menigkat, nyeri kepala, malaise, konstipasi, batuk nonproduktif, bradikardi
relatif. Minggu kedua : demam terus-menerus, apatis, diare, distensi abdomen, ‘rose spot’ (dalam 30%), splenomegali
(pada 75%). Minggu ketiga : demam terus-menerus, delirium, mengantuk, distensi
abdomen masif, diare ‘pea soup’.
Minggu keempat : perbaikan bertahap pada semua gejala.
Setelah pemulihan, relaps dapat terjadi pada hingga 10%
kasus (jarang terjadi setelah terapi fluorokuinolon). Kasus dapat berlangsung
ringan atau tidak tampak.
Komplikasi
1.
Perdarahan dan perforasi usus (terutama
pada minggu ketiga)
2.
Miokarditis
3.
Neuropsikiatrik : psikosis,
ensefalomielitis
4.
Kolesistitis, kolangitis, hepatitis,
pneumonia, pankratitis
5.
Abses pada limpa, tulang atau ovarium
Pemeriksaan
penunjnag dan Diagnosis
Hitung
leukosit normal atau leukopenia. Leukositosis terjadi bila terdapat perdarahan
atau komplikasi piogenik.Diagnosis definitif membutuhkan isolasi dari darah
atau sumsum tulang. Kultur darah positif pada 80% kasus dalam minggu pertama,
secara progresif berkurang setelah atau bila sebelumnnya terdapat penggunaan
antibiotik.
Kultur
sumsum tulang dapat tetap positif walaupun
setelah pemberian antibiotik. Kultur tinja dan urin sering positif sejak
minggu kedua dan seterusnya, bersifat diagnostik hanya jika gambaran klinis
mendukung.
Pengukuran
antibodi ‘O’ dan ‘H’ (tes Widal) tidak dapat dipercaya dan sering sulit
diinterprestasikan pada orang yang sebelumnya diimunisasi atau terinfeksi
dengan kelompok salmonela yang berkerabat sehingga tidak digunakan di negara
Barat. Sejumlah tes serodiagnostik yang lebih baru dan lebih sensitif ( misanya
tes antibodi Vi) dan deteksi antigen Vi melalui PCR (Polymerase Chain Reaction) masih dalam evaluasi.
Pengobatan
Terapi
antibiotik : siprofloksasin per oral atau IV selama 10-14 hari pada orang
dewasa atau sefalosporin generasi ketiga (misalnya setriakson) pada anak-anak.
Kloramfenikol merupakan alternatif lebih murah pada area di mana organisme
masih sensitif.Deksametason IV tambahan mengurangi mortalitas pada pasien
toksik berat, 75% karier kronik dapat disembuhkan dengan siprofloksasin atau
norfloksasin.
Kolesistektomi dilakukan hanya bila gejala penyakit
kandung empedu memperberat. Pembedahan penting dilakukan pada perforasi, namun
perdarahan dapat ditangani secara konservatif.
Prognosis
Tifoid yang tidak
diobati memiliki angka mortalitas yang mendekati 20%. Mortalitas hampir tidak
ada pada pengobatan segera. Angka kematian yang tinggi tetap ada di banyak
negara endemik akibat pengobatan yang tertunda atau tidak tepat.
Pencegahan
Orang yang
mengunjungi atau tinggal di daerah sangat endemik sebaiknya mendapatkan vaksin
tifoid. Terdapat tiga jenis vaksin dan seluruhnya memberikan perlindungan
sekitar 70% selama 3 tahun.
1.
Vaksin whole-cell mati : dua suntikan penting untuk paket primer. Efek
samping lokal dan sistemik umum terjadi. Vaksin ini murah.
2.
Polisakarida kapsular Vi : suntikan
tunggal, reaksi lokal dan sistemik minimal. Respon imun suboptimal pada anak-anak
berusia <18 bulan. Vaksin polisakarida konjugat memberikan perlindungan
sekitar 90% pada anak berusia >2 tahun dan mungkin lebih sesuai pada bayi.
3.
Vaksin oral hidup yang dilemahkan Ty 21a
: 3 kapsul selama 5 hari. Sebenarnya bebas dari efek samping namun amahal.
Tidak sesuai untuk anak-anak berusia <5 tahun.
4.
Di negara endemik tifoid, tindakan
paling penting adalah penyediaan air yang aman diminum, pembuangan ekskret yang
aman, serta edukasi masyarakat mengenai higiene.
Sumber
:
1. Menteri
Kesehatan Republik Indonesia (MENKES RI), 2006, Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364/MENKES/SK/V/2006 Tentang
Pengendalian Demam Tifoid, MENKES RI, Jakarta.
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia (DEPKES RI),
2009, Profil Kesehatan Indonesia 2008, DEPKES RI, Jakarta.
3.
Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia (KEMENKES
RI), 2012, Pedoman Pengendalian Demam Chikungunya Edisi Ke-2, KEMENKES RI,
Jakarta.
4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (KEMENKES RI), 2012, Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2011,
KEMENKES RI, Jakarta.
5. Kandal, B.K. dkk., 2004, Penyakit Infeksi Edisi
ke-6, Erlangga, Jakarta.
No comments:
Post a Comment