Reaksi
Hipersensitivitas tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik,
terjadi karena dibentuk antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang
merupakan bagian sel penjamu. Reaksi diawali oleh reaksi antara antibodi dan
determinan antigen yang merupakan bagian dari membran sel tergantung apakah
komplemen asesori dan metabolisme sel dilibatkan.
Istilah sitolitik lebih tepat mengingat reaksi yang
terjadi lisis bukan efek toksik. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang
memiliki reseptor Fcγ-R dan juga sel NK yang dapat berperan sebagai sel efektor
dan menimbulkan kerusakan melalui ADCC. Reaksi tipe II dapat menunjukkan
berbagai manifestasi klinik.
1. Reaksi Transfusi
Sejumlah
besar protein dan glikoprotein pada membran SDM disandi oleh berbagai gen. Bila
darah individu golongan darah A mendapat tranfusi golongan B terjadi reaksi
tranfusi, oleh karena anti B isoheglutinin berikatan dengan sel darah B yang
menimbulkan kerusakan darah direk oleh hemolisis masif intravaskular. Reaksi
dapat cepat atau lambat. Reaksi cepat biasanya disebabkan oleh inkompatibilitas
golongan darah ABO yang dipacu oleh IgM. Sedangkan reaksi tranfusi yang lambat
terjadi pada mereka yang pernah mendapat tranfusi berulang dengan darah yang
kompatibel ABO namun inkompatibel dengan darah golongan lainnya.
2. Penyakit hemolitik bayi baru lahir
Penyakit
hemolitik bayi baru lahir ditimbulkan oleh inkompatibilitas Rh (Rhesus) dalam
kehamilan, yaitu pada ibu dengan golongan darah Rh (-) dan janin dengan Rh (+)
3. Anemia hemolitik
Antibiotika
tertentu seperti penicsillin, sefalosporin dan streptomisin dapat diabsorbsi
nonspesifik pada protein membran SDM (Sel Darah Merah) yang membentuk kompleks
serupa kompleks molekul hapten pembawa. Pada beberapa penderita, kompleks
membentuk antibodi (Ab) yang selanjutnya mengikat obat pada SDM dan dengan
bantuan komplemen menimbulkan lisis dengan anemia progresif.
Sumber :
Bratawijaya,
KG dan Iris Rengganis., 2012,Imunologi Dasar, Ed ke-10, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta.
No comments:
Post a Comment