1. Pendahuluan
Delirium
merupakan sindrom, bukan suatu penyakit, dan memiliki banyak kausa, yang
semuanya mengakibatkan pola gejala yang serupa berkaitan dengan tingkat
kesadaran dan gangguan kognitif pasien. Delirium ditandai oleh gangguan kesadaran
serta perubahan kognisi yang timbul dalam waktu singkat.
Gejala penanda delirium yang utama adalah hendaya
kesadaran, biasanya terjadi pada hendaya fungsi kognitif secara menyeluruh.
Abnormalitas mood, persepsi dan perilaku merupakan gejala psikiatri yang lazim
dijumpai; tremor, asteriksis, nistagmus, inkoordinasi dan inkotinensia urin
adalah gejala neurologis yang umumnya ditemui.Secara klasik, delirium memiliki
awitan mendadak (dalam hitungan jam atau hari), perjalanan yang singkat dan
berfluktuasi, serta perbaikan cepat bila faktor kausatif diidentifikasi serta
dieleminasi, namun tiap gambaran khas ini dapat bervariasi secara individual.
2. Epidemiologi
Menurut DSM-IV-TR,
prevalensi delirium pada satu titik waktu pada populasi umum adalah 0,4% untuk
orang berusia 18 tahun ke atas dan 1,1 % pada usia 55 tahun ke atas. Sekitar
10-30% pasien yang sakit secara medis dan dirawat di Rumah Sakit mengalami
delirium. Hampir 30 % pasien di unit perawatan intensif bedah dan unit
perawatan intensif jantung serta 40-50% pasien dalam penyembuhan dari bedah
fraktur panggul mengalami satu episode delirium.
Angka delirium
tertinggi dijumpai pada pasien pascacardiotomi pada beberapa penelitian
mencapai > 90 %. Sebanyak 20 % pasien luka bakar berat dan 30-40% pasien AID
mengalami episode delirium saat dirawat. Delirium timbul pada 80% pasien yang
mengalami stadium penyakit terminal.
Usia lanjut adalah
faktor resiko utama timbulnya delirium. Sekitar 30-40% pasien rawat inap yang
berusia di atas 65 tahun mengalami satu episode delirium dan 10-15% lansia
lainnya mengalami delirium saat masuk rumah sakit. 60% penghuni panti jompo
yang berusia di atas 75 tahun mengalami episode delirium berulang.
Munculnya delirium
merupakan suatu faktor prognostik buruk. Angka institusionalisasi meningkat 3
kali lipat pada pasien berusia 65 tahun ke atas yang mengalami delirium saat
dirawat di Rumah Sakit. Angka kematian 3 bulan pasien yang mengalami 1 episode
delirium diperkirakan sekitar 23-33%. Angka kematian 1 tahun pada pasien yang
mengalami satu episode delirium dapat setinggi 50 %. Pasien lansia yang
mengalami delirium saat dirawat di Rumah Sakit memiliki angka kematian 20-75%
selama rawat inap. Setelah keluar dari Rumah Sakit, sampai 15 % dari orang
tersebut meninggal dalam periode 1 bulan dan 25 % meninggal dalam waktu 6 bulan.
3. Etiologi
Kausa utama delirium
adalah penyakit sistem saraf pusat (seperti epilepsi), penyakit sistemik
(seperti gagal jantung), serta baik intosikasi maupun keadaan putus obat dari
zat farmakologis atau toksik.
4. Pengobatan
Tujuannya yang utama
adalah mengatasi penyebab yang mendasari. Bila kondisi yang mendasari adalah
keracunan antikolinergik, dapat diindikasikan penggunaan fisostigmik salisilat
(Antilirium) 1-2 mg intravena atau intramuskular, dengan dosis berulang dalam
15-30 menit.
Farmakoterapi
Dua gejala utama
delirium yang mungkin memerlukan pengobatan farmakologis adalah psikosis dan
insomnia. Obat pilihan untuk psikosis adalah haloperidol (Haldol) yaitu obat
anti psikotik golongan butirofenon. Bergantung pada usia, berat badan dan
kondisi fisik pasien, dosis awal dapat berkisar dari 2-10 mg yang diberikan
secara intramuskular, diulang dalam satu jam bila pasien masih teragitasi.
Untuk mencapai efek
terapeutik yang sama, dosis oral sebaiknya sekitas 1,5 kali lebih tinggi di
banding dosis parental. Total dosis harian haloperidol yang efektif dapat
berkisar dari 5-50 mg untuk sebagian besar pasien delirium. Droperidol
(Inapsine) adalah butiroferon yang tersedia sebagai alternatif bentuk
intravena, meski diperlukan pemantauan elektroensefalogram ketat pada
pengobatan jenis ini. Golongan fenotiazin sebaiknya dihindari pada pasien
delirium. Obat tersebut dikaitkan dengan aktivitas antikolinergik yang
signifikan.
Insomnia paling baik
diobati dengan dengan golongan benzodiazepin yang memiliki waktu paruh pendek.
Benzodiazepin dengan waktu paruh panjang dan barbiturat sebaiknya dihindari
kecuali bila digunakan sebagai bagian pengobatan penyakit yang mendasari
(contohnya keadaan putus alkohol).
Sumber
:
Sadock, Benjamin
James dan Virginia Alcott Sadock, M.D, 2010, Kaplan dan Sadock Buku Ajar
Psikiatri Klinis Ed. 2 , Profitasari; Tiara Mahatmi Nisa (alih bahasa),
Muttaqin,Husni; Retna Neary Elseria Sihombing (ed), EGC, Jakarta.
No comments:
Post a Comment