1/30/13

Delirium


1.      Pendahuluan
            Delirium merupakan sindrom, bukan suatu penyakit, dan memiliki banyak kausa, yang semuanya mengakibatkan pola gejala yang serupa berkaitan dengan tingkat kesadaran dan gangguan kognitif pasien. Delirium ditandai oleh gangguan kesadaran serta perubahan kognisi yang timbul dalam waktu singkat.

            Gejala penanda delirium yang utama adalah hendaya kesadaran, biasanya terjadi pada hendaya fungsi kognitif secara menyeluruh. Abnormalitas mood, persepsi dan perilaku merupakan gejala psikiatri yang lazim dijumpai; tremor, asteriksis, nistagmus, inkoordinasi dan inkotinensia urin adalah gejala neurologis yang umumnya ditemui.Secara klasik, delirium memiliki awitan mendadak (dalam hitungan jam atau hari), perjalanan yang singkat dan berfluktuasi, serta perbaikan cepat bila faktor kausatif diidentifikasi serta dieleminasi, namun tiap gambaran khas ini dapat bervariasi secara individual.

2.      Epidemiologi

Menurut DSM-IV-TR, prevalensi delirium pada satu titik waktu pada populasi umum adalah 0,4% untuk orang berusia 18 tahun ke atas dan 1,1 % pada usia 55 tahun ke atas. Sekitar 10-30% pasien yang sakit secara medis dan dirawat di Rumah Sakit mengalami delirium. Hampir 30 % pasien di unit perawatan intensif bedah dan unit perawatan intensif jantung serta 40-50% pasien dalam penyembuhan dari bedah fraktur panggul mengalami satu episode delirium.
Angka delirium tertinggi dijumpai pada pasien pascacardiotomi pada beberapa penelitian mencapai > 90 %. Sebanyak 20 % pasien luka bakar berat dan 30-40% pasien AID mengalami episode delirium saat dirawat. Delirium timbul pada 80% pasien yang mengalami stadium penyakit terminal.
Usia lanjut adalah faktor resiko utama timbulnya delirium. Sekitar 30-40% pasien rawat inap yang berusia di atas 65 tahun mengalami satu episode delirium dan 10-15% lansia lainnya mengalami delirium saat masuk rumah sakit. 60% penghuni panti jompo yang berusia di atas 75 tahun mengalami episode delirium berulang.
Munculnya delirium merupakan suatu faktor prognostik buruk. Angka institusionalisasi meningkat 3 kali lipat pada pasien berusia 65 tahun ke atas yang mengalami delirium saat dirawat di Rumah Sakit. Angka kematian 3 bulan pasien yang mengalami 1 episode delirium diperkirakan sekitar 23-33%. Angka kematian 1 tahun pada pasien yang mengalami satu episode delirium dapat setinggi 50 %. Pasien lansia yang mengalami delirium saat dirawat di Rumah Sakit memiliki angka kematian 20-75% selama rawat inap. Setelah keluar dari Rumah Sakit, sampai 15 % dari orang tersebut meninggal dalam periode 1 bulan dan 25 % meninggal dalam waktu  6 bulan.
  
3.      Etiologi

Kausa utama delirium adalah penyakit sistem saraf pusat (seperti epilepsi), penyakit sistemik (seperti gagal jantung), serta baik intosikasi maupun keadaan putus obat dari zat farmakologis atau toksik.

4.      Pengobatan
Tujuannya yang utama adalah mengatasi penyebab yang mendasari. Bila kondisi yang mendasari adalah keracunan antikolinergik, dapat diindikasikan penggunaan fisostigmik salisilat (Antilirium) 1-2 mg intravena atau intramuskular, dengan dosis berulang dalam 15-30 menit.

Farmakoterapi
Dua gejala utama delirium yang mungkin memerlukan pengobatan farmakologis adalah psikosis dan insomnia. Obat pilihan untuk psikosis adalah haloperidol (Haldol) yaitu obat anti psikotik golongan butirofenon. Bergantung pada usia, berat badan dan kondisi fisik pasien, dosis awal dapat berkisar dari 2-10 mg yang diberikan secara intramuskular, diulang dalam satu jam bila pasien masih teragitasi.
Untuk mencapai efek terapeutik yang sama, dosis oral sebaiknya sekitas 1,5 kali lebih tinggi di banding dosis parental. Total dosis harian haloperidol yang efektif dapat berkisar dari 5-50 mg untuk sebagian besar pasien delirium. Droperidol (Inapsine) adalah butiroferon yang tersedia sebagai alternatif bentuk intravena, meski diperlukan pemantauan elektroensefalogram ketat pada pengobatan jenis ini. Golongan fenotiazin sebaiknya dihindari pada pasien delirium. Obat tersebut dikaitkan dengan aktivitas antikolinergik yang signifikan.
Insomnia paling baik diobati dengan dengan golongan benzodiazepin yang memiliki waktu paruh pendek. Benzodiazepin dengan waktu paruh panjang dan barbiturat sebaiknya dihindari kecuali bila digunakan sebagai bagian pengobatan penyakit yang mendasari (contohnya keadaan putus alkohol).

Sumber :
Sadock, Benjamin James dan Virginia Alcott Sadock, M.D, 2010, Kaplan dan Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis Ed. 2 , Profitasari; Tiara Mahatmi Nisa (alih bahasa), Muttaqin,Husni; Retna Neary Elseria Sihombing (ed), EGC, Jakarta.

No comments:

Post a Comment